RSS

30 Titik Temu Wahabi – NU

20 Jul

Tulisan berikut ini merupakan terjemah bebas dari risalah Prof Ali Musthafa Yaqub yang berjudul “Al Wahabiyah wa Nahdhatul ‘Ulama, Ittifaqun fil Ushuuli Laa Ikhtilaaf” pada bab “Al Ittifaq bainal Wahaabiyah wa Nahdhatul ‘Ulama”. Terdapat 31 poin baik dalam ushul maupun furu’ diiniyah yang (diklaim) oleh beliau merupakan titik temu antara Wahabi dan NU, dan ini hanyalah dalam rangka memberikan contoh saja bukan sebagai batasan (artinya masih banyak lagi titik temu di antara kedua kelompok tersebut, wallahu a’lam).

Wahabi dan NU bersepakat dalam hal-hal berikut ini :

  1. Rukun Iman dan rukun Islam, berdasarkan hadits yang terkenal seputar Iman, Islam, dan Ihsan. Keduanya bersepakat atas isi rukun Iman dan rukun Islam baik dalam jumlah poinnya hingga sampai ke huruf-hurufnya.
  2. Sumber hukum Islam, yaitu Al Quran, As Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
  3. Pengambilan hadits ahad dalam masalah aqidah, dan bersepakat untuk tidak membatasi sumber dalam aqidah hanya pada hadits mutawatir saja, seperti halnya keyakinan Mu’tazilah.
  4. Berpegang pada salah satu madzhab. NU berpendapat wajibnya mengikuti salah satu dari madzhab yang empat yaitu Hanafi, Syafi’i, Maliki, atau Hanbali. Dalam hal ini Wahabi condong pada madzhab Imam Ahmad ibn Hanbal, sementara NU dengan madzhab Imam Syafi’i.
  5. Konsekuensi dari pengambilan hadits ahad sebagai sumber aqidah, baik Wahabi dan NU bersepakat meyakini (contohnya dalam) adanya adzab qubur, sifat penduduk surga, berdasarkan hadits-hadits shahih (walaupun ahad) dalam masalah tersebut.
  6. Konsekuensi pengambilan ijma’ sebagai sumber hukum, Wahabi dan NU sama-sama menerapkan dua adzan dalam shalat Jumat, dan juga keduanya mengamalkan shalat tarawih berdasarkan ijma’ sahabat radhiyallahu anhum.
  7. Konsekuensi pengambilan qiyas sebagai sumber hukum, Wahabi dan NU sama-sama meyakini bolehnya hadiah pahala bagi orang yang telah meninggal.
  8. Konsekuensi pengambilan sunnah dan ijma’, Wahabi dan NU sama-sama melarang penetapan masuknya awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah kecuali dengan metode rukyatul hilal, atau dengan penggenapan jumlah 30 hari apabila tidak melihat hilal. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa metode hisab falaki dalam penentuan awal bulan adalah metode yang sesat dan menyalahi syariat, bidah dalam agama. Sementara NU bahkan berpendapat barangsiapa yang berpegang pada hisab falaki maka dia bukanlah termasuk golongan ahlus sunnah wal jamaah. Imam Al Khathabi dari madzhab Syafi’i berpendapat bahwa metode hisab falaki adalah metode yang baru muncul di pertengahan abad 4 Hijriah.
  9. Wahabi-NU sama-sama menerapkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, “Maa alaihi ana wa ashabiy… Apa yang aku dan para shabatku berada di atasnya..” sehingga keduanya sama-sama berpegang dengan Al Quran, As Sunnah, dan ijma’ sahabat radhiyallahu ‘anhum.
  10. Wahabi-NU sama-sama mencintai Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, ahlul baitnya, dan seluruh sahabat radhiyallahu anhum.Tanpa mengkultuskan sebagian diantara mereka, dan keduanya sama-sama meyakini bahwa sahabat yang paling utama adalah : Abu Bakar As Shiddiq, kemudian Umar ibn Khattab, kemudian Utsman ibn Affan, kemudian Ali ibn Abi Thalib.
  11. Wahabi-NU sama-sama mengingkari dengan keras barangsiapa yang mencela sahabat Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, atau mengkultuskan sebagian diantara mereka, atau bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) hingga sampai pada taraf derajat yang lebih tinggi daripada Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, bahkan hingga derajat Tuhan. Dan bahwasanya kecintaan pada ahlul bait tidaklah bermanfaat bila tidak dibarengi dengan kecintaan pada shahabat Nabi radhiyallahu anhum.
  12. Wahabi-NU, sebagai konsekuensi pengamalan terhadap As Sunnah dan Ijma’, mengingkari sikap keluar dari ketaatan terhadap ulil amri, selama tidak dalam hal kemaksiatan pada Allah Ta’ala. Walaupun ulil amri itu fasiq, zhalim, selama ia tetap shalat bersama dengan kaum muslimin atau terindikasi kufrun bawwah (kekafiran yang jelas).
  13. Wahabi-NU, atau minimalnya adalah pendapat hadratus syaikh KH Muhammad Hasyim Asyari rahimahullah, mengingkari adanya perayaan tahunan untuk mengenang sebagian orang-orang shalih. Adapun Wahabi menganggap perayaan semacam ini bidah dalam agama.
  14. Wahabi-NU sama-sama meyakini bahwa orang yang tidak layak padanya kemampuan untuk berijtihad, tidak boleh untuk berijtihad. Bila ia berijtihad maka ia berdosa, bahkan walaupun ijtihadnya benar tanpa sengaja. Wahabi-NU sama-sama mewajibkan taqlid pada imam-imam yang tsiqah.
  15. Wahabi-NU sama-sama mengingkari paham radikalisme, terorisme, dalam dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Keduanya sama-sama meyakini bahwa aksi terorisme bertentangan dengan prinsip Islam sebagai agama yang samaahah, dan merusak citra Islam dan kaum muslimin.
  16. Wahabi-NU sama-sama memandang wajibnya jihad bersama imam atau kepala negara, baik itu wajib ain maupun wajib kifayah. Setiap muslim harus memerangi yang diperangi oleh imam, dan tidak memerangi siapa yang tidak diperangi oleh imam. Keduanya juga sama-sama memandang bahwa syariat jihad bukanlah terorisme.
  17. Wahabi-NU, atau minimalnya pendapat KH Muhammad Hasyim Asyari dan Ibnu Taimiyyah, meyakini bolehnya bertawassul dengan nama Muhammad dalam berdoa. KH Hasyim Asyari memberi pembatasan bahwa tetap tidak boleh berdoa kecuali kepada Allah Ta’ala, dan tetap meyakini bahwa yang menjadi perantara doa adalah hamba Allah semata. Adapun yang mengabulkan dan menolak doa tetap Allah Tabaraka wa Ta’ala semata.
  18. Sebagian ulama yang ulama-ulama Wahabi berguru dan mengambil ilmu padanya, dan juga ulama NU membolehkan mentalqin mayit setelah dikuburkan, berdasarkan hadits-hadits dalam masalah tersebut.
  19. Wahabi-NU sama-sama melarang penamaan kelompok dengan selain nama ISLAM yang telah Allah Ta’ala pilihkan bagi umatnya. Adapun penamaan Wahabi berasal dari musuh-musuh Islam dalam rangka membuat manusia lari dari dakwah mereka, dan dalam rangka tuduhan bahwa kelompok tersebut mendahulukan pendapat Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab diatas pendapat orang lain. Demikian pula NU menganggap bahwa penamaan Nahdhatul Ulama hanyalah sebagai ta’rif semata, bukan mengganti nama Islam itu sendiri.
  20. Wahabi-NU sama-sama meyakini adanya syafaat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para Nabi, dan orang-orang shalih di hari kiamat berdasarkan hadits-hadits shahih dalam masalah tersebut. Berbeda dengan kaum Mu’tazilah dan selainnya yang mengingkari adanya syafaat.
  21. Wahabi-NU sama-sama menetapkan adanya karamah wali berdasarkan dalil-dalil Al Quran dan hadits-hadits shahih dalam masalah tersebut.
  22. Wahabi-NU sama-sama meyakini bahwa seorang mukmin yang melakukan berbagai dosa-dosa besar, statusnya berada sesuai masyi’ah (kehendak) Allah. Bila Dia berkehendak maka diampuni dan masuk surga, bila Dia berkehendak maka diadzab dan masuk neraka sesuai kadar dosanya, kemudian baru dimasukkan ke surga. Hal ini berdasarkan hadits-hadits shahih dalam masalah tersebut.
  23. Wahabi-NU sama-sama meyakini adanya firasat imaniah, yang disebut juga dengan ma’unah. Yaitu seorang mukmin dapat melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain, atau mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain.
  24. Wahabi-NU sama-sama menyebutkan kallimat “Sayyidina” sebelum bershalawat kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, sehingga lafazh shalawat menjadi “Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidinaa Muhammad”. Hal ini berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Aku adalah sayyid bagi anak-anak Adam”
  25. Wahabi-NU, atau minimalnya pendapat KH Muhammad Hasyim Asyari, tidak membolehkan membangun bangunan apapun di atas kuburan, berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarang hal tersebut.
  26. Wahabi-NU sama-sama tidak membolehkan pengkafiran terhadap siapapun dari ahlul qiblat, kecuali bila jelas adanya kufrun bawwah yang tidak mungkin lagi untuk dita’wil. Hal ini berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarang hal tersebut.
  27. Wahabi-NU sama-sama menetapkan bahwa penduduk surga dapat melihat Allah Ta’ala. Berbeda dengan kaum Mu’tazilah dan yang mengambil metode beragama mereka. Berdasarkan hadits-hadits shahih dalam masalah tersebut.
  28. Wahabi-NU sama-sama meyakini tanda-tanda hari kiamat berupa keluarnya Dajjal, turunya Isa ibn Maryam ‘alaihissalam, berdasarkan hadits-hadits shahih dalam masalah tersebut.
  29. Wahabi-NU sama-sama meyakini bahwa agama Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu agama Islam dan itulah satu-satunya agama yang diridhai Allah Ta’ala. Berbeda dengan keyakinan kaum Liberal yang meyakini bahwa semua agama itu benar, dan semua pemeluk agama akan masuk surga bersama-sama dengan kaum muslimin.
  30. Wahabi-NU sama-sama meyakini akan keluarnya Imam Mahdi sebelum hari kiamat, berdasarkan hadits-hadits shahih dalam hal tersebut. Berbeda dengan keyakinan kelompok sesat, dan bahwasanya Imam Mahdi versi Wahabi-NU berbeda dengan Imam Mahdi versi kelompok sesat tersebut.
  31. Wahabi-NU sama-sama meyakini kekalnya surga dan neraka, berdasarkan hadits-hadits shahih dalam hal tersebut, berbeda dengan keyakinan kelompok sesat.

Diterjemahkan dari risalah “Al Wahabiyah wa Nahdhatul ‘Ulama, Ittifaqun fil Ushuuli Laa Ikhtilaaf”, Prof Ali Mustahafa Yaqub, hal. 37-49 cetakan Maktabah Darus Sunnah.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juli 20, 2015 inci Islam

 

Tag: , , ,

Tinggalkan komentar